Penghapusan Sertifikasi Halal, Draf RUU Omnibus Law Abal-abal

Rabu, 22 Januari 2020 - 10:49 WIB
Penghapusan Sertifikasi Halal, Draf RUU Omnibus Law Abal-abal
Omnibus Law Harus Sejalan dengan Konstitusi. Foto: dok/SINDOnews/Okto Rizki
A A A
JAKARTA - Ketua DPR Puan Maharani menyebut draf RUU Omnibus Law yang beredar merupakan draf abal-abal. Pasalnya, pemerintah belum mengirimkan draf resmi kepada DPR sehingga dia meminta masyarakat untuk tidak mudah percaya.

“Jangan sampai kita terpengaruh oleh draf-draf yang kemudian abal-abal dalam artian belum ada draf resmi yang disampaikan pemerintah kepada DPR terkait dengan Omnibus Law,” kata di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

Puan membenarkan bahwa Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 yang akan disahkan pada paripurna hari ini. Menurut dia, apa yang tertuang didraf tersebut baru perencanaan yang akan dibahas kembali substansinya bersama DPR. “Saya sudah meminta kepada pemerintah untuk segera memberikan draf Omnibus Law secepatnya agar nanti diputuskan dalam paripurna,” pintanya.

Fraksi PKS juga angkat bicara terkait beredarnya draf RUU Omnibus Law tentang Cipta Lapangan Kerja yang berisi penghapusan kewajiban sertifikasi halal.

Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli Juwaini menegaskan, fraksinya siap pasang badan menolak usulan itu jika benar termaktub dalam RUU Cipta Lapangan Kerja yang akan diajukan pemerintah. “Jika benar ada pasal penghapusan kewajiban sertifikasi halal sebagaimana mandat UU JPH, Fraksi PKS akan menjadi yang terdepan menolaknya,” kata Jazuli.

Menurut dia, salah kaprah dan langkah sembrono jika pemerintah menghapus kewajiban sertifikasi halal yang merupakan jaminan negara kepada konsumen/masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, apa lagi jika itu dianggap menghambat investasi atau ekonomi.

“Berarti mereka tidak mengerti filosofi dan semangat pemberian jaminan produk halal yang undang-undangnya telah kita sahkan bersama sebagai konsensus yang disambut baik oleh seluruh rakyat Indonesia,” ungkapnya.

Fraksi Partai Demokrat juga mengaku belum membaca draf Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang menghapus kewajiban produk besertifikasi halal. Namun, Demokrat berpandangan bahwa sebaiknya ketentuan itu tidak perlu dihapus. “Kita belum tahu pasalnya apa saja yang diusulkan. Nanti kalau sudah masuk, kita pelajari dulu,” kata Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarif Hasan.

Menurut Syarif, jika Omnibus Law bertujuan untuk kepentingan, kemaslahatan, dan kesejahteraan rakyat, maka perlu didukung. Sebaliknya, kalau bertentangan, itu harus ditolak. “Tapi, intinya jika itu untuk kepentingan, kemaslahatan, menyejahterakan rakyat, itu perlu didukung, tapi sejauhmana harus kita lihat dulu,” ucapnya.

Wakil ketua MPR ini berpandangan, sebaiknya semua pihak menunggu terlebih dulu apa yang diusulkan pemerintah. “Kita belum tahu apakah secara eksplisit itu ada atau tidak. Kita jangan menduga-duga dulu. Kita harus positif, silakan dimasukkan nanti kita lihat poin-poinnya apa, baru kita pelajari, baru kita menentukan sikap,” tandasnya.

Fraksi Partai Persatuan Pem bangunan (PPP) juga keberatan dengan draf Omnibus Law yang menghapus ketentuan produk besertifikat halal dan perda syariah. PPP menyadari bahwa negara Indonesia bukan negara agama, tapi negara berdasarkan Pancasila, yang sila pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. “Yang artinya rakyat Indonesia beragama,” ujar Sekretaris Fraksi PPP DPR Achmad Baidowi.

Menurut dia, yang perlu ditekankan adalah bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan sudah sepatutnya jika dalam amaliahnya mengikuti ajaran agama, diantaranya terkait dengan penggunaan produk halal. “Kami sepakat dengan ide pemerintah untuk mempercepat investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi, tapi jangan sampai mengabaikan fakta-fakta yang menjadi kewajiban bagi umat Islam,” ujar Wakil Sekretaris Jenderal PPP itu.

Dia menambahkan bahwa Islam tidak menghambat pertumbuhan ekonomi. Maka dari itu, menurut dia, perlu pengaturan yang berkesesuaian antara percepatan ekonomi dan norma-norma yang menjadi keyakinan makhluk beragama. “Begitu pun dengan ketentuan perda-perda juga harus dibaca dalam kerangka semangat otonomi daerah yang sesuai dengan karakteristik dan kearifan lokal. Sebaiknya harus cermat betul dalam persoalan ini,” sebutnya.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.7133 seconds (0.1#10.140)