KY: Sebanyak 42 Hakim Melanggar Kode Etik

Kamis, 16 Mei 2019 - 10:43 WIB
KY: Sebanyak 42 Hakim Melanggar Kode Etik
Empat Bulan, Sebanyak 42 Hakim Melanggar Kode Etik . (SINDOphoto).
A A A
JAKARTA - Sepanjang Januari-April 2019, Komisi Yudisial (KY) mencatat dan merekomendasikan penjatuhan sanksi kepada 42 hakim yang melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

Jumlah rekomendasi ini meningkat lebih dari 100% bila dibandingkan periode sama pada tahun lalu yakni Januari-April 2018. Pada periode sama tahun lalu, KY hanya merekomendasikan 20 sanksi.

Ketua KY Jaja Ahmad Jayus mengungkapkan, peningkatan rekomendasi sanksi ini memiliki konsekuensi bahwa KY tegas dalam penegakan pelaksanaan KEPPH untuk menjaga profesi hakim. “Upaya KY ini semata untuk melakukan perbaikan di dunia peradilan,” tandas Jaja melalui rilis yang diterima KORAN SINDO, kemarin.

Jaja mengatakan, hasil penanganan laporan masyarakat yang masuk kemudian diputuskan dalam sidang pleno. Dari 42 hakim tersebut, lanjutnya, KY telah merekomendasikan penjatuhan sanksi ringan terhadap 31 hakim. Sanksi ini diharapkan dapat dijadikan pembelajaran oleh hakim terlapor agar dapat menjaga kemuliaan profesinya. “Untuk rincian sanksi ringan, KY memberikan teguran lisan terhadap 5 orang hakim, teguran tertulis terhadap 8 orang hakim, dan pernyataan tidak puas secara tertulis terhadap 18 hakim,” ujarnya.

Sementara untuk sanksi sedang yang direkomendasikan KY dijatuhkan terhadap 7 hakim terlapor. Dengan rincian, penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 tahun terhadap 3 orang hakim, penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 tahun terhadap satu orang, dan nonpalu paling lama 6 bulan terhadap tiga orang. Dan untuk sanksi berat, KY memberikan pemberhentian dengan hormat terhadap dua orang dan pemberhentian tidak dengan hormat terhadap dua orang.

Jaja mengatakan, kualifikasi perbuatan hakim yang dinyatakan terbukti melanggar KEPPH didominasi tidak profesional yakni sebanyak 28 orang, tidak berperilaku adil 7 orang, tidak menjaga martabat hakim 6 orang, dan selingkuh 1 orang.

Jaja mencontohkan kasus hakim yang bermasalah salah satunya hakim berinisial RMS yang diajukan ke MKH atas laporan telah memberikan konsultasi hukum kepada para pihak yang berperkara. “Sanksi yang dijatuhkan dari sidang bersama dengan Mahkamah Agung dan Majelis Kehormatan Hakim yakni berupa penurunan pangkat selama tiga tahun terhadap hakim RMS yang merupakan hakim di PN Lembata, Nusa Tenggara Timur,” ujarnya.

Kini, kata Jaja, hakim RMS juga sedang menjalani sanksi berat dari Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA) yakni nonpalu selama dua tahun terhitung Januari 2018.“Terkait hal itu, RMS saat ini menjalani dua sanksi sekaligus, di mana kedua sanksi tersebut diberikan atas laporan berbeda di tahun 2017. Pada tahun 2011, hakim RMS juga pernah diberikan sanksi oleh KY. Semua sanksi diberikan atas pelanggaran yang kurang lebih sama, yaitu memberikan konsultasi hukum,” ujarnya.

Selain itu, MKH juga memberhentikan dengan tidak hormat hakim di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang berinisial MYS. “Hakim terlapor MYS terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim angka 2, angka 3, angka 5, dan angka 7 jo Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 11 Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan Nomor 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,” ujarnya.

Dalam fakta persidangan, kata Jaja, hakim terlapor MYS terbukti memasukkan perempuan ke dalam rumah dinasnya di Pengadilan Negeri Menggala. Kemudian berdasarkan hasil tes urine yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung, MYS terbukti mengonsumsi narkoba jenis metamphetamine.

Banyaknya pelanggaran hakim hanya dalam empat bulan saja mengindikasikan masih banyak hakim yang tidak akuntabel. Hal ini diungkapkan oleh, Deputi Direktur Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar. Dia pun mendesak agar dilakukan evaluasi terkait sistem pengawasan internal terhadap hakim dan panitera agar kasus-kasus yang menimpa para hakim tidak terus terulang.

Erwin mengatakan perlu diberlakukan kebijakan satu atap untuk para hakim. Pasalnya, kebijakan yang dilakukan MA masih bisa dianggap belum berimplikasi serius kepada kepentingan masyarakat secara luas. “Sehingga, kami berharap pengesahan dan segera berlakunya RUU Jabatan Hakim akan membuat reformasi hukum di Indonesia. Dengan begitu akan mempertajam performa hukum di lembaga peradilan,” katanya.
(boy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.6445 seconds (0.1#10.140)