Iran: Donald Trump Seret Teheran dalam Perang yang Menghancurkan

Rabu, 15 Mei 2019 - 10:23 WIB
Iran: Donald Trump Seret Teheran dalam Perang yang Menghancurkan
Foto/Ilustrasi/Istimewa
A A A
LONDON - Posisi Amerika Serikat (AS) memainkan permainan yang sangat berbahaya karena berusaha menyeret Iran ke perang yang tidak perlu. Hal itu dikatakan oleh Duta Besar Iran untuk Inggris Hamid Baeidinejad.

Baeidinejad mengatakan pemerintahan Trump membuat kesalahan perhitungan yang serius dalam mengerahkan kelompok tempur kapal induk, pembom B-52 dan personil militer lainnya serta peralatan ke Teluk Persia untuk menghadapi dugaan ancaman Iran yang tidak spesifik.

Baeidinejad membantah bahwa Iran atau proksinya berada di belakang apa yang digambarkan Washington sebagai sabotase terhadap kapal tanker minyak di Teluk milik Arab Saudi, Norwegia, dan Uni Emirat Arab.

Sebelumnya Arab Saudi juga mengatakan drone menyerang salah satu jaringan pipa minyak dan infrastruktur energi lainnya, sebuah insiden yang menyebabkan tolok ukur harga minyak global melonjak.

"Kami siap menghadapi segala kemungkinan, ini yang bisa saya katakan," kata Baeidinejad seperti dikutip dari USA Today, Rabu (15/5/2019).

Baeidinejad mengatakan bahwa dari perspektif Iran, tampak bahwa beberapa penasihat terdekat Presiden Donald Trump, seperti penasihat keamanan nasional John Bolton, berusaha meyakinkan Trump untuk memulai konfrontasi militer yang tidak diinginkan kedua negara dan akan menghancurkan bagi Iran, AS dan wilayah tersebut.

Tahun lalu, Trump menarik diri dari kesepakatan penting yang dicapai antara Iran dan negara-negara dunia pada 2015 di mana Iran berjanji untuk membatasi program nuklirnya dengan imbalan bantuan dari sanksi yang melumpuhkan. Presiden Barack Obama memandang perjanjian itu sebagai salah satu warisan pencapaian kebijakan luar negerinya. Namun Trump berkampanye untuk menghapusnya.

Trump kemudian mengejar kebijakan "tekanan maksimum" terhadap Iran, menampar negara Timur Tengah itu dengan serangkaian sanksi ekonomi yang semakin memberatkan perekonomiannya, menyebabkan inflasi yang tak terkendali dan menyebabkan kekurangan makanan dan obat-obatan.

Pekan lalu, Teheran mengumumkan bahwa mereka meninggalkan dua kewajibannya di bawah kesepakatan nuklir: mengekspor kelebihan uranium dan "air berat" yang digunakan dalam reaktor nuklir. Pemerintahan Trump mencirikan langkah itu sebagai upaya Iran untuk menahan "sandera" AS melalui "pemerasan nuklir."

"(Kesepakatan nuklir) menjadi tidak berarti karena AS," kata Baeidinejad, mencatat bahwa Iran memberikan tiga penandatangan kesepakatan dari Eropa Barat - Inggris, Jerman dan Perancis - 60 hari untuk "menyelamatkan" perjanjian itu.

Kalau tidak, katanya, akan ada konsekuensi dari Teheran yang bisa termasuk menangguhkan modernisasi fasilitas nuklir Arak Iran. Modernisasi pabrik "air berat" memastikan akan memproduksi lebih sedikit plutonium, yang dibutuhkan untuk bom nuklir. Badan pengawas nuklir PBB telah 14 kali memverifikasi jika Iran mematuhi ketentuan-ketentuan perjanjian - bahkan setelah AS mundur Mei lalu.

Dalam kesempatan itu, Baeidinejad tidak mengatakan apakah Iran akan mempertimbangkan kemungkinan tawaran Trump untuk mengadakan pembicaraan dengan Teheran.
(boy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.6725 seconds (0.1#10.140)