Ini Sikap Kemendagri Terkait Aturan Eks Napi Korupsi Maju Pilkada

Senin, 09 Desember 2019 - 07:22 WIB
Ini Sikap Kemendagri Terkait Aturan Eks Napi Korupsi Maju Pilkada
Kemendagri menilai Peraturan KPU (PKPU) terkait mantan napi korupsi maju Pilkada tak bertentangan dengan undang-undang. Foto/Dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Langkah KPU dengan tidak melarang mantan narapidana korupsi untuk maju di pemilihan kepala daerah (pilkada) dinilai sudah sesuai peraturan dan tidak bertentangan dengan aturan undang-undang.

Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar mengatakan bahwa Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan dalam Pilkada 2020 yang tercatat dengan Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang ditetapkan pada 2 Desember 2019 sudah sesuai peraturan dan tak bertentangan dengan undang-undang.

“PKPU sesuai dengan peraturan dan tidak bertentangan dengan undang-undang sebagaimana hasil rapat dengar pendapat antara KPU, Bawaslu, pemerintah, dan Komisi II DPR beberapa waktu lalu,” tandas Bahtiar di Jakarta, kemarin.

Menurut dia, dalam Pasal 4 soal persyaratan calon kepala daerah, memang tidak ada larangan bagi mantan terpidana korupsi. Penambahan norma Pasal 3A ayat (3) dan ayat (4) oleh KPU dengan menggunakan frasa “mengutamakan” bukanlah norma persyaratan dan tidak mengikat. Norma itu yang hanya bersifat imbauan.

Frasa “mengutamakan”, lanjutnya, bukan berarti melarang pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memiliki latar belakang mantan narapidana kasus tindak pidana korupsi untuk bisa mengikuti seleksi calon kepala daerah yang dilakukan oleh parpol. Sebaliknya, hal itu sepenuhnya kewenangan partai politik.

Menurut dia, apabila larangan pencalonan mantan napi kasus korupsi dimasukkan ke dalam PKPU, maka ketentuan tersebut melebihi amanat yang tertuang dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g dan penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

“Pembatasan hak seseorang berdasarkan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 harus dilakukan melalui UU, bukan melalui peraturan teknis,” ujarnya. Di sisi lain, kata Bahtiar, ketentuan tersebut juga telah dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015, di mana mantan terpidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah sepanjang mengemukakan secara terbuka dan jujur kepada publik sebagai mantan terpidana.

Menurut dia, isi Pasal 4 ayat (1) huruf h tersebut masih sama dengan aturan sebelumnya yakni PKPU Nomor 7 Tahun 2017 yang hanya mengatur larangan bagi dua mantan terpidana yang berbunyi “Bukan Mantan Terpidana Bandar Narkoba dan Bukan Mantan Terpidana Kejahatan Seksual terhadap Anak”.

“Dalam Pasal 4 PKPU Nomor 18 Tahun 2019, tidak ada syarat pencalonan adalah bukan mantan narapidana korupsi. Berarti mantan napi kasus korupsi tetap boleh mencalonkan diri sepanjang diusulkan parpol sesuai ketentuan Pasal 7 huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016, yang berbunyi tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,” tandasnya.

Pemahaman tentang PKPU Nomor 18 tahun 2019 perlu disebarluaskan kepada publik agar masyarakat memahami substansi dan adanya kepastian hukum dalam pelaksanaan Pilkada Serentak tahun 2020 mendatang.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, meski gagal, KPU mungkin tetap punya tekad untuk mengatur larangan mantan napi koruptor dicalonkan pada Pilkada 2020. “Namun jika tekad itu hanya dimiliki oleh KPU sendirian, maka ini seperti membuang waktu dan energi saja. Sebab, pada akhirnya hampir pasti akan dilawan oleh para calon, partai politik, dan juga Mahkamah Agung,” ujarnya.

Lucius menganggap, KPU belajar dari pengalaman di pemilu lalu, di mana perjuangan mereka untuk mengatur larangan mantan napi koruptor dalam PKPU pencalonan di pileg berakhir gagal setelah MA membatalkan larangan yang dibuat KPU itu. Karena itu, perjuangan keras KPU berakhir sia-sia, sehingga pelajaran pahit di Pemilu Legislatif 2019 jelas tak ingin terulang.

“KPU tahu betul mereka ada di jalan yang sunyi dalam memperjuangkan pemilu berintegritas tersebut. Karena itu, mungkin pilihannya adalah membiarkan aturan pencalonan tetap sebagaimana yang diinginkan DPR dan pemerintah dalam UU Pemilu,” paparnya.

Menurut Lucius, meski secara formal KPU gagal memperjuangkan larangan itu melalui PKPU, namun setidaknya mimpi KPU melarang mantan napi ini sudah tersebar ke tengah masyarakat. Sehingga tidak memilih mantan napi sebagai kepala daerah pada Pilkada 2020 menjadi pedoman masyarakat untuk memilih para calon pemimpin daerah.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menilai, keputusan yang diambil KPU yang tidak memasukkan larangan mantan narapadina kasus korupsi ikut pilkada dalam PKPU tidak lah mengejutkan. “KPU diperhadapkan pada pilihan-pilihan sulit, antara kebutuhan untuk segera mengesahkan Peraturan KPU tentang Pencalonan karena tahapan dan proses pencalonan Pilkada 2020 yang sudah dimulai,” ujarnya.

Atau, mengatur pelarangan mantan napi dengan resiko berlarut-larutnya pengesahan PKPU Pencalonan akibat perlawanan politik dan hukum yang akan dilakukan oleh pihak-pihak yang terdampak dari pelarangan itu. Menurut Titi, KPU saat ini harus mendapatkan beban dari masyarakat untuk membuat pengaturan pelarangan mantan napi karena ruang itu sudah mustahil didapat melalui pembuat undang-udang yaitu DPR dan pemerintah.

Karena itu, menurut Titi, harus dimaklumi kekecewaan yang dirasakan masyarakat karena KPU tidak mengatur hal ini karena jika itu diminta pada wakil-wakil partai di DPR, sudah tahu bahwa pasti tidak akan terealisasi. “Mestinya, pengaturan materi muatan pelarangan mantan napi bukan dibebankan pada KPU, tapi mestinya pada para pembuat undang-undang,” tandasnya.

Meski demikian, menurut dia, KPU tetap bisa membuat terobosan soal ini melalui pengaturan teknis dalam tahapan pilkada. Khususnya dalam menerjemahkan persyaratan “jujur dan terbuka” mengakui bahwa dirinya adalah mantan napi.

KPU bisa mengatur larangan ini dalam peraturan soal kampanye dan juga pemungutan penghitungan suara di TPS. Sehingga, penyebaran informasi soal calon yang mantan napi harus pula dilakukan dalam dokumen profil calon pada masa kampanye maupun dokumen-dokumen sosialisasi KPU. “Termasuk pula diumumkan di TPS pada hari pencoblosan agar masyarakat bisa mendapatkan informasi utuh soal riwayat hukum dan rekam jejak calon secara mudah dan masif,” paparnya.
(vhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.8010 seconds (0.1#10.140)