Menkumham Yasona: Hina Martabat Presiden Dilarang, Kecuali Kita Mau Liberal

Rabu, 25 September 2019 - 18:57 WIB
Menkumham Yasona: Hina Martabat Presiden Dilarang, Kecuali Kita Mau Liberal
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly. (Foto: SINDOnews)
A A A
JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan adanya pasal yang mengatur soal penghinaan terhadap presiden dalam Rancangan Kitab undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang ditunda pengesahannya oleh DPR dan Pemerintah, mutlak diperlukan. Bahkan, dibanyak negara seperti Jepang, penghinaan terhadap kepala negara juga diatur.

”Saya sependapat bahwa menghina presiden, harkat martabat presiden itu dilarang. Di Jepang itu, (juga) beberapa negara, dilarang kecuali Amerika. Kita mau (menjadi negara) liberalis. Saya dididik oleh orang tua saya dan senior saya (tidak seperti itu),” tegas Yasonna usai menerima pendaftaran pengurus DPP PDIP hasil Kongres V Bali di Kantor Kemenkumham, Rabu (25/9/2019).

Yasonna menegaskan Indonesia adalah negara yang berasaskan Pancasila yang dalamnya perlu menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan adab. ”Saya (sebagai Menkumham-red) tidak mau mewariskan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai adab, kebebasan bangsa ini,” tuturnya.

Yasonna meminta agar pihak-pihak yang menolak terhadap pasal ini untuk membaca secara utuh pasal dan penjelasan-penjelasan yang mengatur di dalamnya bahwa pasal ini merupakan delik aduan.

”Kami mau menjelaskan kalau penghinaan kepada jabatan presiden kalau melakukan kritik. Jangan setengahnya, baca penjelasannya,” urainya.

Bagi dirinya sebagai menteri, diejek atau dihina bukan masalah. Berbeda dengan jabatan presiden yang perlu diatur mengenai keberadaban. ”Mau ke mana bangsa ini (jika penghinaan terhadap Presiden tidak diatur-red). Di sini ada Pancasila,” urainya.

Yasonna menyadari bahwa kalangan milenial banyak yang mulai tercerabut dari akar budayanya. Hal inilah yang menyebabkan kerusakan.

Dia mencontohkan kekaisaran Romawi hancur karena munculnya peradaban baru yang rusak sehingga menyebabkan birokrasi mereka hancur.

Sebelumnya, Pasal Penghinaan Presiden memicu kritik dari banyak kalangan lantaran Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 pernah membatalkan Pasal 134 dan 136 KUHP tentang penghinaan kepala negara. MK beranggapan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Kemudian pada 2015, Presiden Joko Widodo menghidupkan pasal penghinaan presiden dengan menyelipkan satu pasal mengenai Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam RUU KUHP ke DPR untuk disetujui menjadi KUHP pada 5 Juni 2015.

Kini dalam RUU UKHP, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden ini kembali masuk dengan pidana maksimal selama lima tahun atau denda paling banyak Rp500 juta. Dalam revisi UU KUHP, penghinaan presiden tertera di Pasal 262 hingga 264. Pada Pasal 262 berbunyi: setiap orang yang menyerang diri Presdien atau

Wakil Presiden, yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

Sementara pada Pasal 263 ayat (1) disebutkan, setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV dan (2) tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau pembelaan diri.

Pasal 264 : Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
(zys)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 6.6119 seconds (0.1#10.140)