Satu Juta Spesies Diprediksi Terancam Punah

Selasa, 07 Mei 2019 - 11:25 WIB
Satu Juta Spesies Diprediksi Terancam Punah
Satu Juta Spesies Terancam Punah. (Istimewa).
A A A
PARIS -
Upaya mengejar pertumbuhan ekonomi dan dampak perubahan iklim mengakibatkan satu juta spesies di bumi terancam punah. Para peneliti mengungkapkan itu dalam laporan mengenai kerusakan yang diakibatkan peradaban modern pada kehidupan alam. Laporan itu menyimpulkan bahwa hanya transformasi luas pada sistem keuangan dan ekonomi global yang dapat mengembalikan ekosistem dari jurang kehancuran.

Laporan itu didukung oleh 130 negara, termasuk Amerika Serikat (AS), Rusia dan China. “Jaring kehidupan yang penting dan saling terhubung di Bumi semakin kecil dan kian usang,” papar Profesor Josef Settele yang memimpin studi yang diluncurkan di Paris, kemarin, oleh Platform Kebijakan Sains Antarpemerintah untuk Keanekaragaman Hayati dan Layanan Ekosistem (IPBES).
“Kerusakan ini hasil langsung aktivitas manusia dan menjadi ancaman langsung bagi manusia di semua wilayah dunia,” ungkap Settele, dilansir kantor berita Reuters.

Disusun oleh 145 pakar dari 50 negara, studi itu menjadi landasan badan riset yang menyarankan bahwa dunia mungkin perlu menerapkan bentuk pasca-pertumbuhan ekonomi jika ingin menghindari risiko yang muncul dari dampak polusi, kerusakan habitat dan emisi karbon.

Disebut sebagai Global Assessment, laporan itu menemukan bahwa satu juta spesies dari total delapan juta spesies tanaman, serangga dan binatang di Bumi berisiko punah dalam beberapa dekade. Para penulis laporan itu menyebut industri pertanian dan perikanan sebagai penggerak utama dalam tingkat kepunahan spesies yang sepuluh hingga ratusan kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata dalam 10 juta tahun terakhir.

“Perubahan iklim disebabkan oleh pembakaran batubara, produksi minyak dan gas oleh industri bahan bakar fosil semakin memperparah hilangnya spesies itu,” papar laporan itu.

Peneliti lingkungan asal Inggris yang memimpin IPBES Robert Watson menyatakan mungkin untuk mulai melestarikan, memulihkan dan menggunakan alam secara berkelanjutan jika masyarakat bersiap melawan kepentingan pribadi demi menjaga kelestarian alam.

“Laporan itu juga menjelaskan pada kita bahwa belum terlalu terlambat untuk membuat perbedaan, tapi hanya jika kita mulai sekarang di semua level dari lokal hingga global,” ungkap Watson.

“Dengan perubahan tranformatif, kita mengelola ulang teknologi, ekonomi dan faktor-faktor sosial termasuk paradigma, tujuan dan nilai-nilai,” ujar dia.

Laporan itu menegaskan kembali pernyataan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Oktober lalu bahwa perubahan sosial dan ekonomi diperlukan untuk mengurangi gas rumah kaca secara cepat untuk menghindari dampak pemanasan global.

Temuan itu juga menambah tekanan bagi berbagai negara untuk menyepakati langkah melindungi satwa liar dalam konferensi keanekaragaman hayati yang akan digelar di China pada akhir tahun depan.
Global Assessment ini berisi perkiraan yang dibuat setelah tiga tahun review dari sekitar 15.000 makalah ilmiah yang menunjukkan dampak masyarakat industri global di bumi dalam setengah abad terakhir. Menggabungkan berbagai hal untuk mengukur hilangnya spesies pada kehidupan manusia, laporan itu mengungkap berbagai risiko dari punahnya serangga yang penting untuk penyerbukan tanaman pangan, hingga kerusakan terumbu karang yang mendukung populasi ikan yang menunjang masyarakat pantai, atau hilangnya berbagai tanaman obat-obatan.

Laporan itu menemukan bahwa rata-rata spesies asli di sebagian besar habitat berbasis darat telah berkurang hingga 20%, sebagian besar sejak 1900.

Daftar spesies yang terancam punah itu termasuk lebih dari 40% spesies amphibi, hampir 33% karang pembentuk terumbu, dan lebih dari sepertiga mamalia laut. Perkiraan belum dapat dipastikan untuk spesies serangga tapi diduga 10% terancam punah.

“Kita telah berlari dari satu batas ke batas lain utnuk mencoba menemukan sumber daya alam murah yang dapat dieksploitasi di setiap sudut planet,” kata Eduardo Brondizio, profesor antropologi di Universitas Indiana di Amerika Serikat yang turut memimpin Global Assessment. “Pesan kunci: bisnis yang biasa harus diakhiri,” pungkasnya.
(boy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.7644 seconds (0.1#10.140)