Mantan Bos Bank Bali Rudi Ramli Datangi Gedung KPK, Ada Apa?

Rabu, 26 Juni 2019 - 20:25 WIB
Mantan Bos Bank Bali Rudi Ramli Datangi Gedung KPK, Ada Apa?
Rudy Ramli, mantan pemilik Bank Bali mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Rabu (26/6/2019). (Foto/Ist)
A A A
JAKARTA - Rudy Ramli, mantan pemilik Bank Bali mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (26/6/2019).

Dia datang bersama beberapa orang untuk mengadukan kembali masalah dugaan penyimpangan proses pengambilalihan Bank Bali yang dimerger dengan empat bank menjadi Bank Permata.

"Pengaduan tadi langsung diterima Direktur Pengaduan KPK, Pak Cahya Harefa. Jadi, ini merupakan lanjutan upaya saya atas permintaan otoritas terkait dalam menghentikan rencana transaksi penjualan saham Bank Permata Tbk oleh Standard Chartered Bank (SCB)," katanya dalam pesan yang diterima.

Rudy menilai bahwa kasus ini perlu dilakukan investigasi khusus karena ada indikasi proses transaksi pengambilalihan saham yang sangat cacat hukum.

"Saya rasa ini momen yang baik bagi KPK untuk mengungkap adanya kerugiaan negara pada proses pegambil alihan saham oleh SCB. Dan sebenarnya negara tidak perlu mengalami kerugian sampai triliunan rupiah karena pada dasarnya Bank Bali ini sangat sehat, bahkan sejak krisis 1997-1998. Maka itu, keuangannya juga sangat likuid," katanya.

Namun, lanjut Rudy, kondisi tersebut berubah parah, terutama saat Bank Bali terjerumus menjadi Bank Rekap. Apalagi, waktu itu beberapa pejabat BI meminta untuk membantu bank yang kesulitan likuiditas. Atas dorongan itu, Bank Bali mengucurkan pinjaman dana antar bank ke Bank Umum Nasional yang jumlahnya mencapai Rp1,3 triliun.

"Sebanyak Rp946 miliar diantaranya tidak bisa ditagih. Di sini saya merasa dijerumuskan oleh oknum pejabat BI yang mendorong-dorong tadi. Akibatnya, saat itu terjadi rentetan peristiwa yang mengakibatkan Bank Bali harus ikut direkap senilai Rp1,4 triliun," katanya.

Adapun selama dalam program rekap, Bank Bali di bawah penanganan BPPN selalu menunjuk SCB untuk menangani dan menyehatkan Bank Bali. Tapi, sebaliknya SCB malah meminta BPPN untuk menjadikan Bank Bali BTO.

Sementara proses BTO kerap kali mengindikasikan adanya konspirasi Pejabat BPPN dan SCB. Dari sini, negara mengalami kerugian biaya rekap hingga mencapai Rp 11,9 triliun.

"Inilah yang saya maksud terjadi kerugiaan negara yang disebabkan konspirasi pejabat-pejabat BPPN dan SCB. Makanya, KPK harus bisa menyelidiki proses ini," katanya.

Lebih dari itu, kata Rudy, setelah direstrukturisasi dengan dana Rp11,9 triliun, SCB oleh BPPN malah diberikan kesempatan membelli saham bank merger hasil restrukturisasi senilai Rp2,77 Triliun. Padahal, biaya rekap yang digelontorkan pemerintah mencapai Rp11,89 triliun.

"Artinya, penjualan saham Bank Permata menimbulkan kerugian negara sebesar Rp9,12 triliun. Ada satu bukti yang bisa dipakai untuk memulai memeriksa kasus ini. Dalam laporan keuangan SCB tahun 2006, terungkap adasatu note tentang kepemilikan SCB di Bank Permata, yakni there are no capital commitments realated to the groups Investment in permata," tukasnya.
(vhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.0321 seconds (0.1#10.140)