Ramai Diburu Online, Kalung Antivirus Ternyata Tak Bisa Tangkal Covid-19

Kamis, 02 April 2020 - 08:30 WIB
Ramai Diburu Online, Kalung Antivirus Ternyata Tak Bisa Tangkal Covid-19
Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Masyarakat kini tengah berburu kalung antivirus yang dijual bebas di online. Benarkah kalung ini dapat melawan virus corona? Ya, sedang viral saat ini kalung antivirus yang diyakini banyak orang dapat menangkal virus corona.

Beberapa artis pun sudah banyak yang memakai kalung ini, Nagita Slavina salah satu di antaranya. Di e-commerce, kalung ini dijual dengan harga beragam mulai dari Rp128.000 hingga Rp270.000. Di Shopee, kalung yang dipatok dengan harga Rp 190.000 tersebut sudah ludes terjual.

Kalung tersebut adalah buatan Jepang yang sebetulnya sudah dilarang di beberapa negara Asia namun masih banyak dijual di pasar Hong Kong. Kalung dengan label Toamit Virus Shut Out ini, diklaim sudah terbukti efektif menghambat partikel udara dan bakteri serta virus, dan mengurangi kemungkinan terinfeksi ataupun menulari orang lain. Produsennya mengatakan kalung itu cocok bagi orang sakit, lansia, anak-anak, hingga individu dengan imunitas tubuh rendah. Kalung ini mengandung klorin dioksida.

Pertanyaannya, benarkah kalung ini ampuh menangkal virus? Dijawab Dr Ariane Davison selaku virologis dan imunologis, kalung itu adalah sebuah kebohongan. "Kalung dipakai di leher, sama sekali jauh dari mulut maupun hidung yang merupakan kunci masuknya infeksi Covid-19. Kalau kalung itu terkena wajah, kandungan aktifnya-klorin dioksida-akan justru menyebabkan gangguan pernapasan serius dan iritasi mata, juga kulit terbakar mengingat bahannya yang korosif," jelas Davison dikutip dari Hongkong.

Ia menyambung, klorin dioksida digunakan untuk tindakan sterilisasi permukaan keras dan tidak boleh terkena wajah. "Artinya, kalung itu tidak berguna untuk proteksi melawan Covid-19," imbuh Direktur Global Health Care Consultants yang tinggal di Hong Kong ini.

Di laman eBay dan Facebook sendiri, kalung itu sudah dilarang diperjualbelikan. Pemerintah Vietnam dan Thailand juga sudah menyita benda tersebut. Pemerintah Vietnam mengatakan produk itu tidak bersandar pada bukti ilmiah.

Meski begitu, kalung ini masih ramai tersedia di Hong Kong yang dijual dengan harga di bawah HKD100 atau sekira Rp211.344. Selain hand sanitizer, masker, disinfektan, maupun kalung, masyarakat juga menyasar alat tes cepat (rapid test) yang tersedia di sejumlah e-commerce. Tes tersebut guna mengetahui apakah kita terserang virus corona.

Menanggapi hal ini, Dekan Fakultas Universitas Indonesia (FKUI) Prof Dr dr Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH dalam konferensi pers yang dilakukan secara daring minggu lalu menegaskan tidak merekomendasikan alat tes cepat yang belum tentu valid dengan sensitivitasnya masih diragukan. "Saya tidak merekomendasikan rapid test yang tidak valid. Pemerintah juga belum mengizinkan ada suatu rapid test yang digunakan untuk kepentingan diperjualbelikan," kata Prof Ari.

Padahal, rapid test itu juga tidak disarankan bagi mereka yang sehat. Alat tes ini diutamakan bagi kelompok yang termasuk dalam kategori orang dalam pemantauan (ODP) maupun pasien dalam pengawasan (PDP). "Ini yang jadi prioritas utama. Di masyarakat umum yang bukan menjadi ODP atau PDP, menurut saya, bukan menjadi prioritas," imbuh Prof Ari.

Ia mengimbau masyarakat agar lebih berhati-hati untuk membeli alat tes tersebut. Sebab, hasil dari tes bisa menimbulkan kerancuan karena tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tentunya tenaga kesehatan lebih paham dalam melakukan tes ini. Prof Ari juga mengingatkan bahwa jika hasil tes negatif bukan berarti aman.

Sebab, mungkin saja individu bersangkutan sedang dalam window period atau masa inkubasi. "Artinya apa? Virus masuk ke tubuh kita, tapi belum bergejala dan belum terdeteksi oleh antibodi kita. Sebaiknya dua minggu diisolasi dulu, kita lihat apabila ada gejala demam harus segera dibawa ke rumah sakit," paparnya.

Senada dengan dr Erlina Burhan SpP(K). Menurutnya, orang yang tidak bergejala yang diperiksa dengan rapid test, belum tentu negatif korona. “Kalau seseorang dalam masa inkubasi, kemudian diperiksa rapid test serologi belum terdeteksi, nanti jadi seolah-olah negatif, ini disebut negatif palsu,” ujar dr Erlina.

Ia mengingatkan bahwa salah diagnosis akan berakibat fatal di masyarakat. Sebab jika mengetahui dirinya negatif, padahal mungkin sedang dalam masa inkubasi, lalu bepergian, maka bisa menulari orang lain.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.0316 seconds (0.1#10.140)