Debt Collector Tagih Utang: Mulai Ancaman Teror hingga Ikat Kaki Kreditur Ditimba Sumur Air

Minggu, 16 Februari 2020 - 21:40 WIB
Debt Collector Tagih Utang: Mulai Ancaman Teror hingga Ikat Kaki Kreditur Ditimba Sumur Air
Foto: Ilustrasi/SINDOphoto
A A A
KIKI (40) warga Jalan Medan Area Selatan, Kecamatan Medan Area menjadi korban pengeroyokan sekelompok orang yang diduga sebagai debt collector.

Mereka hendak mengambil mobil yang dikendarainya secara paksa oleh para pelaku.Kiki pun mengalami luka-luka terutama dibagian matanya berdarah.

Kiki menjelaskan, peritiwa penganiayaan itu terjadi berawal ketika dia bersama keluarga mengendarai mobil dan hendak pulang ke rumahnya. Saat melintas di Jalan Amaliun, tiba-tiba korban dicegat oleh 10 pria yang mengendarai mobil dan 3 sepeda motor. Tak pakai basa-basi, pelaku langsung menghadang dan memukuli mobil yang dikendarainya.

Kiki pun terpaksa k keluar dari dalam mobil. Awalanya Kiki semula bersama istri dan anak tetap berusaha bertahan di dalam mobil.

Namun begitu ia keluar langsung mendapat pukulan dari para pelaku. Akibatnya, kondisi matanya mengalami luka parah berdarah dan cacat permanen. Kiki mengakui tidak mengetahui jika mobil milik abang sepupu istrinya yang dikendarainya itu masih berstatus kredit.

Kasus Kiki di atas adalah sebagian kecil cerita keras dan kasarnya para penagih utang atau debt collector. (Baca juga: Debt Collector Penganiaya Lapor Balik Korban ke Polisi)

Keberadaan bisnis jasa penagih utang alias debt collector di negeri ini memang sudah sejak lama sudah ada di tengah masyarakat.

Dizaman Orde Baru mereka justru ada yang lebih sadis menghadapi pemilik tunggakan utang. Tak jarang konsumen atau nasabah yang memiliki tunggakan utang terpaksa melarikan diri untuk menghindari begisnya oknum debt colector.

Mereka tak lagi mampu menghadapi oknum penagih utang yang terkadang selain kasar juga cenderung mempermalukan pemilik tunggakan.

Semakin berkembangnya kehidupan, jasa penagih utang ini pun semakin subur. Mereka tidak hanya ada di perkotaan. Tetapi mereka sudah sampai kepelosok desa. Upaya mereka menagih utang juga, makin beringas.

Mereka menelepon kreditur dengan cara kata-kata kasar, mulai dari menyebut binatang dan bahkan ada kata-kata yang kotor lainnya.

Pola kehidupan sebagian warga yang konsumtif juga mendorong menjamurnya jasa penagih utang tunggakan. Kemudian diperparah kondisi ekonomi saat ini yang kurang baik, tentu dapat memicu tumbuhnya tunggakan nasabah.

Ditambah lagi jasa yang diperoleh penagih utang cukup menggiurkan, sehingga
terkadang tunjangan yang mereka peroleh mencapai atara 30 sampai 40 persen dari total tagihan. Bahkan, jika sudah lama tunggakan itu mengalami kemacetan bisa 60 persen yang diperoleh seorang debt collector. Wow, angka yang fantastis.

Salah seorang mantan Debt Collector R Siagian (65) menceritakan pengalamannya sebagai penagih tunggakan utang pada masa Orde Baru di kawasan Jakarta Pusat. Pekerjaan jasa penagih utang itu cukup menggiurkan.

Ia tidak perlu memiliki ijazah untuk melakoni pekerjaannya. Cukup dengan kepiawaiannya menghadapi nasabah atau kreditur yang bermasalah bisa memperoleh uang cukup banyak.

Kelompoknya juga sempat berjaya sebagai profesi jasa debt collector di ibu kota. Pendapatannya terkadang dalam satu hari bisa mencapai ratusan juta, sebagai fee dari nilai jumlah tagihan.

"Pagi- pagi kami cuma duduk- duduk di lobby hotel menunggu catatan sasaran atau target yang akan ditagih," kata R Siagian, Minggu (16/2/2020). (Baca juga: Tarik Mobil Secara Paksa, Debt Collector Penganiaya Dicokok)

Menurutnya, para penagih utang, biasanya terlebih dahulu membuat janji dengan penunggak utang. Ketika berhasil menemui nasabah, mereka kerap melakukan berbagai cara demi mencapai tujuan.

Bila metode halus tidak mempan, debt collector tak segan-segan R Siagian menggunakan cara kasar bernuansa teror. Dalam beberapa kasus, penunggak utang bisa diancam dengan kata-kata dan aksi yang menyeramkan.

"Pernah juga ada yang kami ikat kakinya dan digantung di katrol timba air sumur. Sesekali diturunkan menyentuh air dan ditarik lagi ke atas. Alhasil dibayarnya," tutur R Siagian.

Setelah mendapat ancaman seperti itu, nasabah sudah barang tentu menyanggupi segera membayar segala utangnya meskipun, sebenarnya nasabah tidak memiliki uang sama sekali. Segala cara dilakukan penunggak utang. Penagih utang juga tidak akan beranjak dari rumah tersebut sebelum persoalan selesai.

Alhasil, berbagai cara segera dilakukan oleh nasabah melunasi karena tidak lagi sanggup berhadapan dengan debt collector ini.

Pernah satu kali peristiwa, penunggak utang yang ditagih R Siagian bersama anggotanya, justru pemilik tunggakan lari terbirit-birit meninggalkan rumah mewahnya, setelah terlebih dahulu menyerahkan semua surat- surat serta kepemilikan rumah kepada R Siagian.

Seiring dengan peristiwa munculnya penembak misterius kala itu, hampir seluruh debt collector tidak ada lagi di DKI Jakarta. Banyak di antaranya memilih pulang kampung karena takut menjadi sasaran tembakan misterius.

R Siagian juga memilih pulang kampung memulai usaha sebagai rekanan yang mengerjakan proyek-proyek di daerahnya. Kini diusia senjanya, iapun memilih kehidupan yang lebih baik dan tidak lagi menyakiti perasaan orang lain.

Kapolsek Medan Area Kompol Faidir Chaniago SH MH ketika diminta tanggapannya terkait keberadaan debt collector yang kerap membuat resah sebagian orang di Medan harus dihadapi dengan cara bijaksana tanpa melakukan tindak pidana

"Harusnya jangan ada kekerasan antara penunggak dan penagih. Tidak boleh mereka melakukan tindak pidana,"tuturnya.

Dia menambahkan, jika ada upaya perampasan atau mengambil motor atau mobil yang tertunggak secara paksa di jalanan sebaiknya keduanya membelokkan kenderaannya ke kantor polisi terdekat.

"Kami juga berhak menanyakan identitas yang memberhentikan kenderaan. Kemudian, penagih tidak boleh melakukan kekerasan seperti yang kami tangani (kasus Kiki),"bebernya.

Terpisah, penasihat hukum Akhyar Idris Sagala mengatakan, sejak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 perusahaan leasing (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi jaminan fidusia sendiri apalagi melalui pihak lain yang hanya diberi kuasa.

Jika terjadi cedera janji atau wanprestasi, eksekusi jaminan fidusia tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia (kreditur), melainkan harus dengan mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.

"Apabila pihak leasing masih melakukan penarikan paksa objek fidusia tindakan itu merupakan perbuatan pidana pencurian dengan kekerasan yang di hukum 9 tahun penjara," ungkapnya.

Alasannya karena penetapan eksekusi juga tidak serta merta keluar harus memanggil pihak debitur lagi untuk diperingati (aan maning) agar suka rela menyerahkan objek fidusia apabila tidak bersedia barulah dilakukan eksekusi paksa atas objek fidusia.

Agar tidak terjadi lagi penarikan paksa terhadap objek fidusia khususnya di Sumatera Utara, Akhyar meminta kepada Kapolda Sumut dan jajaranya agar memperingatkan seluruh perusahaan leasing agar tidak melakukan penarikan paksa dan memerintahkan jajaranya agar mengejar para pelaku penarik paksa kenderaan.

Selain itu, ia juga meminta Kapoldasu memerintahkan jajaranya apabila masyarakat membuat pengaduan jangan di tolak dengan alasan tidak ada BPKB atau surat keterangan dari leasing.

"Karena bagaimana mungkin dapat BPKB dan surat keterangan kalau masih kredit. serta meminta panglima kodam bukit barisan agar memerintahkan dan menindak anggotanya yang ikut melakukan penarikan paksa kenderaan bersama pihak leasing,"ujarnya.

Akhyar menegaskan, untuk masyrakat apabila datang yang mengaku dari perusahaan leasing untuk menarik kenderaan agar menanyakan penetapan eksekusi dari pengadilan negeri

"Dan tanyakan mana petugas pengadilanya. Apabila tidak ada penetapan eksekusi dan petugas pengadilan negeri agar masyarakat langsung menolak dan membuat pengaduan ke kantor polisi terdekat," tandasnya.
(vhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.1931 seconds (0.1#10.140)